Asrul Sani
Penulis sajak, cerita, dan esai ini lahir di Rao, Sumatera
Barat. Asrul Sani mengenyam pendidikan di Perguruan Tinggi Kedokteran Hewan di
Bogor. Ketika revolusi, Asrul memimpin Laskar Rakyat, kemudian masuk tentara,
menjadi mahasiswa, dan menerbitkan harian perlawanan Suara Bogor. Korektor di
percetakan, redaktur Gema Suasana. Kemudian bersama-sama dengan Rivai Apin dan
Siti Nuraini menyelenggarakan redaksi Gelanggang dari warta sepekan Siasat dan
sejak Juni 1951 pembantu Zenith.
Maret 1952 berangkat ke negeri Belanda untuk menambah pengetahuan.
Bersama-sama
dengan Chairil Anwar dan Rivai Apin menyusun Tiga Menguak Takdir terbitan Balai
Pustaka 1950. Menerjemahkan Vercors, Laut Membisu (Le Silence de la Mer)
terbitan Balai Pustaka 1949.
Salah satu cerita pendeknya, bertajuk “Sahabat Saya Cordiaz”.
Berikut cerpen tersebut dalam Gema Tanah Air:
Cerita ini mulai sebulan yang lalu, yaitu waktu saya memperoleh
sebuah kamar baru. Kamar itu baik. Agak besar, cukup luas untuk tempat tidur
dan rak-rak buku saya. Hawanya pun baik. Kalau hari siang ia amat panas dan
kalau hari malam ia amat dingin. Sekiranya angin tidak ada, terbau bau tengik
yang mesti saya atasi dengan bau obat nyamuk. Selain dari itu, ada lagi tikus.
Tikus-tikus ini berusaha untuk hidup dan untuk dapat beranak-bercucu. Jadi
mereka tidak lebih dari kaum proletar. Saya juga seorang proletar. Dan karena
proletar seluruh dunia harus bersatu, maka akan dapatlah kami sekiranya hidup
rukun dalam kamar itu. Tetapi kawan-kawan serikat saya ini, suka berpesta.
Kalau kegembiraan mereka sudah naik marak, maka dimakannya buku-buku saya.
Sehingga tak mengherankan, jika saya pagi-pagi harus menemui de Maupassant tak
berkepala atau Dos Passos tak berpunggung.
Suatu hari datang seorang anak muda bersepatu putih, bertopi
hitam, bajunya belang-belang dan ia memperkenalkan diri kepada saya sebagai: C.
Darla. Ia tidak mengatakan apakah ia seorang Indo-Spanyol, atau Manila ataupun
orang Indonesia yang berasal dari pulau Enggano (saya mendengar kabar, bahwa
orang-orang Enggano masih memakai nama-nama Spanyol). Ia beroleh kamar yang
letaknya lebih dekat ke kamar mandi. Bahasa Indonesianya langgam-langgam
Singapura bercampur bahasa Inggeris sedikit-sedikit. Demikian ia bercerita
tentang “British nébi yang léndid di Singapure.” Saya tertarik kepadanya,
karena ia pandai berbicara tentang macam-macam pengalaman yan didapatnya di
Singapura. Tentang bajingan-bajingan, “geng” katanya, tentang kaum komunis dan
sebagainya. Waktu ia menyusun buku-bukunya, diberikannya buku “Atlantic
Charter” kepada saya. Saya makin kagum. Tetapi kemudian hari dikatakannya,
bahwa buku roman yang sebagus-bagusnya, ialah buku “Elang Mas” karangan Jusuf
Sou’yb. Segera hilang kagum saya. Sungguhpun demikian kami tetap bersahabat.
Pergaulan kami amat rapat, sehingga banyaklah yang berkecil-kecil
yang diceritakannya kepada saya. Ia menceritakan, bahwa ia mempunyai darah
Spanyol, tetapi ia telah lama tinggal di Indonesia. Sebelum ia datang ke mari,
ia berdiam di Singapura. Kedatangannya ke Jakarta membawa kisah sedih. Ia harus
meninggalkan kekasihnya seorang gadis Pilipina di Singapura. Sesudah menceritakan
itu ia mengetik ucapan-ucapan pernyataan-cinta dalam bahasa Inggeris yang
tunggang-balik, lalu ditinggalkan di kamar saya. Tentang pekerjaannya ia tidak
pernah berbicara. Hanya ia berangkat pukul 9 dari rumah dan pukul 1 telah ada
pula. Tetapi rupanya pekerjaannya amat banyak, sehingga setiap sore ia meminjam
mesin ketik, lalu mengetik terus-menerus. Sesudah itu lalu dibakarnya segala
kertas yang diketiknya tadi. Lalu ia bersungut-sungut. Kemudian ia datang
kepada saya untuk mengatakan, bahwa mesin ketik saya kurang “enak”. Kalau boleh
ia hendak membawanya ke bengkel supaya diminyaki. Ini saya izinkan. Lalu ia
hendak membelikan saya pita mesin ketik yang berwarna merah-hitam. Itupun saya
setujui dengan hati yang tulus-ikhlas. Demikian ia melakukan
perbuatan-perbuatan yang ganjil-ganjil dan yang penuh simbolik, sehingga
menarik perhatian segala isi rumah. Ia menjadi pusat perhatian. Entah memang
itu maksudnya, saya tidak tahu. Tetapi ia berhasil benar, sehingga tiada lagi
orang yang menghiraukan keluhan-keluhan saya setiap pagi tentang pengarang anu
yang kehilangan kepala atau yang kehabisan punggung ataupun yang pecah-pecah
kulit. Demikian saya tinggal dengan teman-teman serikat saya yang menjadi musuh
saya dan saya C. Darla yang mengalahkan saya.
Pernah Darla bertanya tentang cinta kepada saya, dan apakah telah
banyak pengalaman saya tentang hal ini. Rupanya sangat tertarik benar hatinya
akan pokok percakapan ini, sehingga kadang-kadang samoai sekerat malam kami
bercakap-cakap. Katanya, ia masih muda, masih ingin melihat dunia dan belum mau
kawin. Tetapi ia sekarang sedang tersangkut pada suatu perkara yang sulit.
Perkara itu, ialah perkara kasih-sayang juga.
Sekali ia pulang membawa sebuah gelang rantai perak, seperti yang
biasa saya lihat dipakai oleh serdadu-serdadu India atau Australia. Gelang itu
diperlihatkannya kepada saya. Di sana tertulis: Cordiaz Darla. Jadi sahabat
saya itu ialah: Cordiaz. Bukan nama Indonesia. Saya tidak tahu berbahasa
Spanyol, tetapi kalau mendengar-dengar bunyinya, ada juga mengarah-arah
sedikit. Sama enak kedengarannya, seperti perkataan Ortega dalam buku Ortega y
Gasset dan perkataan Fernando dalam nama Fernando Poe. Percakapan kami malam
itu dimulainya dengan ketawa besar. Sesudah itu ia berbicara tentan Arni. Saya
tidak kenal Arni. Katanya, Arni, ialah “bekas” kekasihnya, dan sekarang gadis
itu sudah kurus kering, karena ia tidak pernah datang lagi ke rumahnya. “Tidak
ada orang yang dapat menggantikan saya,” katanya. “Huh!! Awak kire awak punya
negeri! Ayahnya mesti datang kepada saya, minta ampun, baru saya datang ke
sana. Ia mesti mendapat ajaran sedikit.”
“Jadi, menang lagi?” tanya saya.
“Siapa bilang kalah,” katanya.
Saya ikut tertawa karena sahabat saya menang. Tapi, Arni panjang
umurnya di rumah kami, karena sahabat saya itu, mempercakapkan Arni saja
kerjanya. “Ia tidak dapat bercerai dengan saya. Hatinya hancur luluh,” katanya.
“Semua salah bapaknya. Sekarang anaknya makan hati.” Ia makin hari makin tidak
senang diam. Surat-surat yang diketiknya makin lama makin banyak. Tetapi
sebanyak itu yang diketiknya, sebanyak itu pula yang dibakarnya. Kalau ia tidak
menyeterika celananya, ia mengetik, kalau ia tidak mengetik, ia ke luar rumah.
Perginya terburu-buru. Tetapi secepat itu perginya, selekas itu pula kembalinya.
Kalau sedang makan ia bercerita tentang saya-kasihan-sama-Arni.
Suatu malam ia pulang bergegas-gegas. Terus ke kamar saya.
“Ia mencari dukun,” katanya. “Saya mau diberi guna-guna. Bangsat!
Saya juga ada dukun.”
Entah dari mana ia mendapat kemauan untuk pergi kepada dukun,
entah dari ibunya, entah dari neneknya orang Spanyol, saya tidak tahu.
Pendeknya—ia pergi kepada dukun. Sore-sore itu ia mengirim surat dan suatu
bungkusan kepada Arni. Surat dan bungkusan itu kembali malam itu juga. Sesudah
menerima itu, rupanya runtuh segala pasak-pasak tubuhnya. Dengan
terbungkuk-bungkuk ia masuk ke kamarnya, lalu dikuncinya pintu erat-erat. Esok
harinya, waktu saya kembali dari berjalan-jalan, saya lihat kopornya tidak ada
lagi. Di atas meja saya ada surat. Di dalamnya tertulis: “Saya tidak tahan lagi
tinggal di sini. Rumah ini terlampau ribut buat saya.” Kasihan! Rupanya banyak
juga tikus-tikus dalam kamarnya. Dan kawan-kawan serikat saya ini rupanya
bertindak sebagai kaum kapitalis, sehingga sahabat saya yang sama proletarnya
dengan saya, tidak dapat bersatu dengan mereka—lalu pergi.
Sangka saya selesailah riwayat Cordiaz Darla. Tetapi minggu yang
lampau saya mendengar kabar, bahwa ia telah kawin dengan seorang janda yang
beranak lima. Saya pergi ke rumahnya. Agak merumuk ia sedikit waktu saya temui.
Saya tanyakan bagaimana mereka kawin. “Bagaimana orang Indonesia kawin,” kata
istrinya. Perempuan ini peramah betul dan ia lebih berpengalaman dari Darla,
sehingga tak dibiarkannya Darla banyak cakap. Ia memperlihatkan surat kawin
mereka kepada saya. Saya baca di sana nama: Chaidir Darla, jadi huruf C itu
tidak berarti Cordiaz. Namanya memang Chaidir, karena istrinya memanggil, “Dir,
Dir!” Jadi ia bukan orang Spanyol atau Pilipina. Waktu saya mau pergi saya
katakan kepada Darla, bahwa saya ikut berbesar hati. Saya berjanji akan
mendoa-doakan supaya mereka lebih banyak mendapat anak. “Ingat,” kata saya,
“Orang tua-tua bilang: banyak anak, banyak padi!” Istrinya tersenyum
berseri-seri.
Dua hari yang lalu saya menerima surat dari Darla. Dalam surat itu
tertulis: “Saya tidak tahan lagi tinggal di sini. Tolonglah saya!”
Saya maklum sudah. Bagaimana ia akan tahan, kalau hatinya keras
untuk jadi orang Spanyol atau orang Pilipina, sedang orang menganggap dia orang
Indonesia. Lagi pula apalah salahnya. Bangsa saya banyak sudah yang menjadi
orang Belanda, mengapa pula tidak akan diberi kesempatan kepadanya untuk
menjadi orang Spanyol. Orang Indonesia belum banyak yang jadi orang Spanyol.
Sebab itu saya kirimkan uang 50 rupiah dan saya tulis pada surat pengantarnya:
“Untuk ongkos menjadi orang Spanyol.” Surat ini tidak berbalas. Menurut
kira-kira saya sudah berhasil kehendaknya.
Tapi tadi pagi, saya lewat bersepeda di depan rumah Darla.
Kebetulan saya bertemu dengan bujang perempuannya, lalu saya tanyakan
kalau-kalau ia tahu tentang amplop berisi uang yang saya kirimkan.
“Ya, saya sendiri yang kasih sama nyonya,” jawabnya.
“Sama nyonya? Jadi…?”
“Nyonya terus beli kebaya baru.”
“O, bagus, bagus.” (Hati saya berkata, celaka tiga belas).
“Tuan sekarang di mana?”
“Katanya, kerja di bagian distribusi. Masuk dulu tuan!”
“Ndak, ndak. Lain kali saja.”
Saya pergi.
Ah, kandas. Tragis betul. Belum juga rupanya sampai cita-cita
Darla untuk bernama: Cordiaz Darla. Tetapi tidak apa, siapa tahu ia besok menjadi
orang Jerman atau orang Amerika.
Silakan menafsirkan.. Ulya Narissa
No Comment to " Sahabat Saya Cordiaz "