728X90 AdSpace

News Ticker

Asa Cemara

By Tentang Kursus - Senin, 29 Juni 2015 No Comments


Ulya Narissa

Aku menerjang lebatnya hujan senja ini. Suara petir yang menggelegar tak ku hiraukan. Sekuat tenaga, aku berusaha menjaga keseimbangan sepeda yang kunaiki aga tak goyah diterpa angin. Meskipun mengenakan jas hujan, tetap saja tubuhku basah kuyup. Sore itu, aku terlanjur nandang janji dengan Cenana, untuk mengambil rok yang kujahitkan pada ibunya. Sarukan, kalau kita sudah terlanjur janji tapi tidak ditepati. Janji itu hutang jika tak segera dilunasi. Makanya, jangan suka mengumbar janji. Begitu kata ibuku tempo hari.

“Ini yang ndesain kamu sendiri Ra?” Tanya Bu Ritmi, sembari melangkah meninggalkan mesin jahitnya dan menghampiriku yang tenggah duduk di samping Cenana.

“Nggeh bu, niku seperti desain yang di butik depan itu lho, Cuma tak modifikasi dikit. Hehe”

“Wah, rancangannya bagus, timeless Ra. Sederhana, tapi nyaman dan elegan. Pas seperti namamu, Cemara itu kan simbol keabadian.” Katanya dengan senyum terkulum.

“Ah ibu, berlebihan.”

“Bahasa gaulnya lebay bu. Haha” Tiba-tiba Cenana menimpali.

“Kalau Cenana, itu berasal dari kata cendana. Pohon cendana kan aromanya wangi. Tapi, Cenana wangi apa ndak ya?” Kita semua tergelak. Keluarga ini begitu hangat, semarak meski sederhana. Tiba tiba aku teringat ibu. Sedang apa dia? Aku rindu ibu. Sudah lama tak pulang ke Temanggung.

“Kata ibu, orang harus memanggilku lengkap. Cemara. Tak boleh Ara, apalagi Cem.” Kita serempak tergelak lagi.

“Hujannya deres banget Nok, disini dulu ya. Lagian, udah lama kamu nggak main kesini.” Segera aku mengiyakan nasehat Bu Ritmi. Beliau sudah seperti ibuku sendiri. Mataku kembali menerawang ke Temanggung.

Semuanya tetap sama. Ibu pasti sedang menyulam dengan kain di tangan kiri dan benang sulam di tangan kanan, duduk di teras rumah sambil menanti kepulanganku. Juga rumah joglo dengan halaman yang luas. Di depan rumah itu terdapat pohon belimbing, pandan wangi yang menyimbolkan kelancaran rezeki, dan bunga melati yang melambangkan keharuman, budi pekerti luhur, serta kesucian.

Suatu kali, pernah ada kunjungan geografi di lembah Sindoro Posong, oleh sekolahku, SMA 09 Semarang. Setelah kunjungan itu, aku memutuskan pulang ke rumah, untuk memberi kejutan pada ibu. Aku merindukannya.

***

Sesampainya di rumah, tak kudapati ibu tengah menyulam di tempat favoritnya. Di ruang tengah juga tidak ada. di mana ibu? Aku bingung. Hingga akhirnya aku mendengar isak tangis seseorang di kamarku. Ibu tak pernah menangis di depanku. Yang kutahu, ibu seorang yang teguh, juga tegar. Dan, ketika aku tahu bahwa yang menangis di kamarku saat itu memang ibu, segera kuhamburkan pelukan pada ibu. Beliau tergagap. Mungkin kaget melihat aku pulang tanpa memberi kabar terlebih dahulu. Dan akhirnya, mengalirlah cerita tentang masa lalu ibu, yang tak pernah ibu ceritakan selebelumnya.

“Kamu, begitu mirip dengan ayah. Tak hanya ragamu. Jiwamu pun sama.”

“Surat yang ada di tangan ibu, itukan suratku pada ibu. Maafkan Cemara bu, Cemara tak ada di samping ibu ketika ibu kesepian.” Kataku seadanya. Sejujurnya, aku masih bingung.

“ibu ingin menunjukkan pada ayah, kalau putrinya memiliki mimpi yang akan segera terwujud. Spiritnya, semangatnya, kegigihannya sama persis dengan ayahnya.” Ibu tersedu. Dan aku memeluknya lagi, kali ini lebih erat. Ya, sekarang aku mengerti. Ibu rindu pada ayah. Laki-laki yang tak pernah kujumpai dalam nyata. Barangkali ibupun tahu kalau aku juga punya rindu yang sama pada ayah. Rindu ingin bertemu. Hanya saja, aku tak tahu di mana rimbanya sekarang.

“ibu berpisah dengan ayah karena dia ingin kembali pada keyakinannya yang dulu Nduk,”

“Hanya itu bu?”

“Ya. Sedalam pengetahuan ibu, ayahmu bahagia di sini. Di keluarga ini. Mungkin ia menyimpan rapi gejolak hatinya hingga rasa itu tak mampu lagi  dibendungnya.”

“Ibu tak menanyakan alasan yang lebih kuat?”

“Ayahmu segera pergi setelah melayangkan gugatan cerai pada ibu. Dan berpesan agar ibu merawat kamu dengan seluruh kasih sayang yang ibu miliki.

“’Jika Cemara sudah besar, bantu wujudkan mimpinya. Dan, bekali dia dengan keyakinan yang kuat. Dari dasar hati. Agar dia tidak seperti ayahnya.’ Begitu katanya. Waktu itu kamu masih berusia 3 bulan. Setelah bayangan ayah tak lagi terlihat di tikungan jalan depan rumah, ibu menangis. Pilu. Tak tahu apa yang harus ibu lakukan.”

“ibu.. ” lirih aku berkata.

“ibu, Cemara akan bahagiakan ibu. Cemara sayang ibu.” Kata itulah yang akhirnya kupilih. Akupun tersedu.

“ibu juga sayang Cemara. Semoga nasib malang ibu tak terulang di kehidupanmu, dan kebahagiaan yang belum ibu dapatkan, akan diberikan kepadamu. Termasuk kebahagiaan meraih mimpimu Nduk.”

“Itu semua terjadi juga atas kehendak Yang Kuasa. Ibu hanya menjalaninya.” Ibu tersenyum dengan air mata yang mengalir. Dan aku, bertekat tak akan menyakiti ibu. Aku tak akan memilih laki-laki yang berbeda dengan keyakinanku. Di luar, gerimis perlahan turun. Seolah menyatu dengan irama ibu saat ini.

“Woy, ngelamunin apa sih, Satria ya?” ah, Cenana selalu begitu. Suka membuyarkan lamunan ku tentang ibu.

“Idih, apaan. Sotoy kamu.”

“Halah, ngaku aja. Nih, ada surat bersampul biru lengkap dengan gambar Merpati putih.” Katanya genit seraya menyodorkanku sepucuk surat.

“Dari?” Tanyaku mengernyitkan dahi. Tetapi yang ditanya segera berlalu sebelum menjawab. Menyebalkan. Pelan, kubaca isi surat sampul biru itu.

Untuk Savaria Cemara

Jika hujan tak mau damaikan gelisah hati, bintang gemintang tak mampu sampaikan rasaku padamu, atau sang merpati tak mau menyanyikan kerinduanku, biarlah sepucuk surat ini yang akan menyampaikan alur hati ini padamu.

Dari Ardian Satriagastya

Satria, dia benar-benar menyukaiku. Orang yang mengenalakanku pada mimpi. Kini, aku bahagia sekaligus bingung. Kulangkahkan kakiku menuju teras rumah Cenana. Di atas kursi jati kusandarkan tubuhku. Memejamkan mata. Bayangan Satria berkelindan. Sesaat kemudian berganti bayangan ibu berputar-putar.

kembali teringat olehku awal pertemuan dengannya. Ketika itu sedang ada diskusi di komunitas fotografi yang aku ikuti.

Jadi, untuk menghasilkan gambar yang baik, dibutuhkan fokus pada komposisi dan angel objek. Ngerti? ”

“Iya Mas Satria, trus ini ISOnya buat apaan?” tanyaku polos.

“Namaku bukan Mas Satria.” Katanya seraya menggeleng.

“Lah trus siapa?”

“Tanpa Mas.” Katanya sambil terkekeh.

“Iya Sat, trus ISOnya buat apaan?” Aku sedikit tersipu. Kedekatan jarak membuatku mau tak mau terpesona oleh mata bening nyaris bidadarinya.

“Buat ngukur sensitive cahaya yang masuk ke dalam kamera. Biasanya, ISO yang normal itu 200, nanti kalau cahayanya over diatur aja pake shutternya.” Aku mengangguk tanda mengerti penjelasannya.

“Udah? Ngerti kan sekarang?”

“Aku pulang dulu ya, keburu maghrib nanti.” Sambungnya.

“Iya Sat, hati-hati.”

“Kalungmu  bagus. Da..” dia memuji kalung salib yang selalu kupakai. Aku hanya tersenyum sambil melambaikan tangan.

Semenjak itu, aku rajin mengikuti komunitas ini. Ingin melihat lekat-lekat mata beningnya Satria yang selalu bersinar. Kalau sudah seperti itu, aku seperti anak kecil yang sedang didongengi ayahnya. Tapi, di hatiku terbesit ketakutan. Bagaimana jika aku jatuh cinta kepadanya? Haruskah aku menyakiti ibu?

***

Begitulah, ketakutanku benar-benar terbukti. Hari Minggu kemarin, aku dan Cenana jalan jalan pagi di sepanjang sawah dekat tempat kosku. Secara kebetulan, aku tak sengaja bertemu dengan Satria yang mengenakan baju koko putih dan sarung abu-abu, tak lupa peci hitam yang membuat para perempuan terpesona melihatnya. Sepertinya dia baru usai dari sholat subuh di Masjid. Aku sempat melongo beberapa detik, dan saat itu kusadari aku telah jatuh cinta padanya.

Kembali kubuka surat dari Satria. Hatiku bergebalau. Aku mencintainya. Tapi bagaimana dengan ibu? Dia satu-satunya yang kumiliki. Pilihan yang sulit. Getir mengingat tangis ibu yang merindukan ayah, namun tak tega membunuh rasa yang perlahan mulai tumbuh.

Tuhan, mohon tuntun aku kali ini. Aku tak mungkin menyakiti Satria, apalagi ibu. Aku membuang nafas panjang. Dan mulai menuai harapan. Aku mungkin tak bisa merubah sakit hati ibu menjadi perasaan bahagia. Tapi, aku bisa meyakinkan diri, untuk mencoba mengarungi rasa ini. Entah di tikungan mana nanti kami berpisah, itu takdir Tuhan. Paling tidak, aku telah mencoba menjalaninya. Mungkin aku terkesan acuh, tapi cinta bisa membuat siapapun melakukan itu. Ya aku akan mencobanya, meskipun nanti lara hati.

Ibu, restuilah putrimu. Dengan restumu, aku akan kuat jika lara hati nanti. Cemara tak akan menyalahkan nasib, karena mungkin itu memang takdirku.  

Tags:

No Comment to " Asa Cemara "