Ulya Narissa
Aku menerjang lebatnya hujan senja
ini. Suara petir yang menggelegar tak ku hiraukan. Sekuat tenaga, aku berusaha
menjaga keseimbangan sepeda yang kunaiki aga tak goyah diterpa angin. Meskipun
mengenakan jas hujan, tetap saja tubuhku basah kuyup. Sore itu, aku terlanjur nandang
janji dengan Cenana, untuk mengambil rok yang kujahitkan pada ibunya. Sarukan,
kalau kita sudah terlanjur janji tapi tidak ditepati. Janji itu hutang jika tak
segera dilunasi. Makanya, jangan suka mengumbar janji. Begitu kata ibuku tempo
hari.
“Ini yang ndesain kamu sendiri Ra?”
Tanya Bu Ritmi, sembari melangkah meninggalkan mesin jahitnya dan menghampiriku
yang tenggah duduk di samping Cenana.
“Nggeh bu, niku seperti
desain yang di butik depan itu lho, Cuma tak modifikasi dikit. Hehe”
“Wah, rancangannya bagus, timeless
Ra. Sederhana, tapi nyaman dan elegan. Pas seperti namamu, Cemara itu kan simbol
keabadian.” Katanya dengan senyum terkulum.
“Ah ibu, berlebihan.”
“Bahasa gaulnya lebay bu. Haha”
Tiba-tiba Cenana menimpali.
“Kalau Cenana, itu berasal dari
kata cendana. Pohon cendana kan aromanya wangi. Tapi, Cenana wangi apa ndak ya?”
Kita semua tergelak. Keluarga ini begitu hangat, semarak meski sederhana. Tiba
tiba aku teringat ibu. Sedang apa dia? Aku rindu ibu. Sudah lama tak pulang ke
Temanggung.
“Kata ibu, orang harus memanggilku
lengkap. Cemara. Tak boleh Ara, apalagi Cem.” Kita serempak tergelak lagi.
“Hujannya deres banget Nok, disini
dulu ya. Lagian, udah lama kamu nggak main kesini.” Segera aku mengiyakan
nasehat Bu Ritmi. Beliau sudah seperti ibuku sendiri. Mataku kembali menerawang
ke Temanggung.
Semuanya tetap sama. Ibu pasti
sedang menyulam dengan kain di tangan kiri dan benang sulam di tangan kanan,
duduk di teras rumah sambil menanti kepulanganku. Juga rumah joglo dengan
halaman yang luas. Di depan rumah itu terdapat pohon belimbing, pandan wangi
yang menyimbolkan kelancaran rezeki, dan bunga melati yang melambangkan
keharuman, budi pekerti luhur, serta kesucian.
Suatu
kali, pernah ada kunjungan geografi di lembah Sindoro Posong, oleh sekolahku,
SMA 09 Semarang. Setelah kunjungan itu, aku memutuskan pulang ke rumah, untuk
memberi kejutan pada ibu. Aku merindukannya.
***
Sesampainya
di rumah, tak kudapati ibu tengah menyulam di tempat favoritnya. Di ruang
tengah juga tidak ada. di mana ibu? Aku bingung. Hingga akhirnya aku mendengar
isak tangis seseorang di kamarku. Ibu tak pernah menangis di depanku. Yang kutahu,
ibu seorang yang teguh, juga tegar. Dan, ketika aku tahu bahwa yang menangis di
kamarku saat itu memang ibu, segera kuhamburkan pelukan pada ibu. Beliau
tergagap. Mungkin kaget melihat aku pulang tanpa memberi kabar terlebih dahulu.
Dan akhirnya, mengalirlah cerita tentang masa lalu ibu, yang tak pernah ibu
ceritakan selebelumnya.
“Kamu,
begitu mirip dengan ayah. Tak hanya ragamu. Jiwamu pun sama.”
“Surat
yang ada di tangan ibu, itukan suratku pada ibu. Maafkan Cemara bu, Cemara tak
ada di samping ibu ketika ibu kesepian.” Kataku seadanya. Sejujurnya, aku masih
bingung.
“ibu
ingin menunjukkan pada ayah, kalau putrinya memiliki mimpi yang akan segera
terwujud. Spiritnya, semangatnya, kegigihannya sama persis dengan ayahnya.” Ibu
tersedu. Dan aku memeluknya lagi, kali ini lebih erat. Ya, sekarang aku mengerti.
Ibu rindu pada ayah. Laki-laki yang tak pernah kujumpai dalam nyata. Barangkali
ibupun tahu kalau aku juga punya rindu yang sama pada ayah. Rindu ingin
bertemu. Hanya saja, aku tak tahu di mana rimbanya sekarang.
“ibu
berpisah dengan ayah karena dia ingin kembali pada keyakinannya yang dulu Nduk,”
“Hanya
itu bu?”
“Ya.
Sedalam pengetahuan ibu, ayahmu bahagia di sini. Di keluarga ini. Mungkin ia
menyimpan rapi gejolak hatinya hingga rasa itu tak mampu lagi dibendungnya.”
“Ibu
tak menanyakan alasan yang lebih kuat?”
“Ayahmu
segera pergi setelah melayangkan gugatan cerai pada ibu. Dan berpesan agar ibu merawat
kamu dengan seluruh kasih sayang yang ibu miliki.”
“’Jika
Cemara sudah besar, bantu wujudkan mimpinya. Dan, bekali dia dengan keyakinan
yang kuat. Dari dasar hati. Agar dia tidak seperti ayahnya.’ Begitu katanya.
Waktu itu kamu masih berusia 3 bulan. Setelah bayangan ayah tak lagi terlihat
di tikungan jalan depan rumah, ibu menangis. Pilu. Tak tahu apa yang harus ibu
lakukan.”
“ibu..
” lirih aku berkata.
“ibu,
Cemara akan bahagiakan ibu. Cemara sayang ibu.” Kata itulah yang akhirnya
kupilih. Akupun tersedu.
“ibu
juga sayang Cemara. Semoga nasib malang ibu tak terulang di kehidupanmu, dan
kebahagiaan yang belum ibu dapatkan, akan diberikan kepadamu. Termasuk
kebahagiaan meraih mimpimu Nduk.”
“Itu
semua terjadi juga atas kehendak Yang Kuasa. Ibu hanya menjalaninya.” Ibu
tersenyum dengan air mata yang mengalir. Dan aku, bertekat tak akan menyakiti
ibu. Aku tak akan memilih laki-laki yang berbeda dengan keyakinanku. Di luar,
gerimis perlahan turun. Seolah menyatu dengan irama ibu saat ini.
“Woy, ngelamunin apa sih,
Satria ya?” ah, Cenana selalu begitu. Suka membuyarkan lamunan ku tentang ibu.
“Idih,
apaan. Sotoy kamu.”
“Halah,
ngaku aja. Nih, ada surat bersampul biru lengkap dengan gambar Merpati putih.”
Katanya genit seraya
menyodorkanku sepucuk surat.
“Dari?”
Tanyaku mengernyitkan dahi. Tetapi yang ditanya segera berlalu sebelum
menjawab. Menyebalkan. Pelan, kubaca isi surat sampul biru itu.
Untuk Savaria Cemara
Jika hujan tak mau damaikan gelisah hati,
bintang gemintang tak mampu sampaikan rasaku padamu, atau sang merpati tak mau
menyanyikan kerinduanku, biarlah sepucuk surat ini yang akan menyampaikan alur
hati ini padamu.
Dari Ardian Satriagastya
Satria, dia benar-benar menyukaiku. Orang yang mengenalakanku pada
mimpi. Kini, aku bahagia sekaligus bingung. Kulangkahkan kakiku menuju teras
rumah Cenana. Di atas kursi jati kusandarkan tubuhku. Memejamkan mata. Bayangan
Satria berkelindan. Sesaat kemudian berganti bayangan ibu berputar-putar.
kembali teringat olehku awal pertemuan dengannya. Ketika itu sedang
ada diskusi di komunitas fotografi yang aku ikuti.
“Jadi, untuk menghasilkan gambar yang baik, dibutuhkan fokus pada
komposisi dan angel objek. Ngerti? ”
“Iya Mas Satria, trus ini ISOnya buat apaan?” tanyaku polos.
“Namaku bukan Mas Satria.” Katanya seraya menggeleng.
“Lah trus siapa?”
“Tanpa Mas.” Katanya sambil terkekeh.
“Iya Sat, trus ISOnya buat apaan?” Aku sedikit tersipu. Kedekatan
jarak membuatku mau tak mau terpesona oleh mata bening nyaris bidadarinya.
“Buat ngukur sensitive cahaya yang masuk ke dalam kamera. Biasanya,
ISO yang normal itu 200, nanti kalau cahayanya over diatur aja pake shutternya.”
Aku mengangguk tanda mengerti penjelasannya.
“Udah? Ngerti kan sekarang?”
“Aku pulang dulu ya, keburu maghrib nanti.” Sambungnya.
“Iya Sat, hati-hati.”
“Kalungmu bagus. Da..” dia
memuji kalung salib yang selalu kupakai. Aku hanya tersenyum sambil melambaikan
tangan.
Semenjak itu, aku rajin mengikuti komunitas ini. Ingin melihat
lekat-lekat mata beningnya Satria yang selalu bersinar. Kalau sudah seperti
itu, aku seperti anak kecil yang sedang didongengi ayahnya. Tapi, di hatiku
terbesit ketakutan. Bagaimana jika aku jatuh cinta kepadanya? Haruskah aku menyakiti
ibu?
***
Begitulah, ketakutanku benar-benar terbukti. Hari Minggu kemarin, aku
dan Cenana jalan jalan pagi di sepanjang sawah dekat tempat kosku. Secara
kebetulan, aku tak sengaja bertemu dengan Satria yang mengenakan baju koko
putih dan sarung abu-abu, tak lupa peci hitam yang membuat para perempuan terpesona
melihatnya. Sepertinya dia baru usai dari sholat subuh di Masjid. Aku sempat
melongo beberapa detik, dan saat itu kusadari aku telah jatuh cinta padanya.
Kembali kubuka surat dari Satria. Hatiku bergebalau. Aku
mencintainya. Tapi bagaimana dengan ibu? Dia satu-satunya yang kumiliki.
Pilihan yang sulit. Getir mengingat tangis ibu yang merindukan ayah, namun tak
tega membunuh rasa yang perlahan mulai tumbuh.
Tuhan, mohon tuntun aku kali ini. Aku tak mungkin menyakiti Satria, apalagi
ibu. Aku membuang nafas panjang. Dan mulai menuai harapan. Aku mungkin tak bisa
merubah sakit hati ibu menjadi perasaan bahagia. Tapi, aku bisa meyakinkan
diri, untuk mencoba mengarungi rasa ini. Entah di tikungan mana nanti kami
berpisah, itu takdir Tuhan. Paling tidak, aku telah mencoba menjalaninya. Mungkin
aku terkesan acuh, tapi cinta bisa membuat siapapun melakukan itu. Ya aku akan
mencobanya, meskipun nanti lara hati.
Ibu, restuilah putrimu. Dengan restumu, aku
akan kuat jika lara hati nanti. Cemara tak akan menyalahkan nasib, karena
mungkin itu memang takdirku.
No Comment to " Asa Cemara "